Kisah Miris Bayi Dera dan Dara Reminds Me of U…

Tragedi miris bayi Dera yang meninggal karena ditolak oleh rumah sakit di Jakarta dengan alasan karena ruang NICU-nya penuh mengingatkanku dengan pengalamanku setahun yang lalu.

Kehamilanku mengalami gangguan pre-eklampsia di usia 32 minggu. Demi keselamatanku dan bayiku, dokter menyarankan untuk sesegera mungkin melakukan terminasi pada kehamilanku. Dengan kata lain, bayiku harus segera dikeluarkan. Karena masih termasuk prematur dan berat bayiku juga rendah, aku yang biasanya periksa kehamilan dengan dr. Widad di RSKIA Sadewa di daerah Babarsari, Jogja, dirujuk ke RSUP. Dr. Sardjito karena fasilitasnya lebih lengkap untuk bayi prematur dan BBLR. Kebetulan, dr. Widad juga praktek disana.

Dr. Widad juga menyarankan aku SC (sectio caesarian) atau operasi caesar di Sardjito karena menurut dr. Widad kalau melahirkan disana, otomatis bayinya bisa langsung masuk sana juga. Beda ceritanya kalau melahirkan di rumah sakit lain, belum tentu bayinya bisa dirujuk ke Sardjito karena biasanya ruang NICU (Neonatal Intensif Care Unit) atau ruang ICU buat bayi memiliki fasilitas yang terbatas. Oiya, NICU di Sardjito merawat bayi-bayi yang usianya pas masuk adalah di bawah 1,5 bulan. Bayi yang pas masuk rs usianya di atas 1,5 bulan, nggak bisa lagi masuk NICU, tapi masuk ICU, bergabung dengan pasien-pasien dewasa lainnya.

Mungkin rumah sakit di Jogja nggak sebanyak rumah sakit di Jakarta. Fasilitasnya juga belum selengkap di Jakarta. Bukannya aku mendukung pihak rumah sakit untuk menolak pasien, tapi aku sudah menyaksikan bagaimana ruang NICU yang penuh sesak dengan bayi-bayi sakit.

Di NICU Sardjito, ada beberapa ruangan perawatan bayi, kalau nggak salah ruang A sampai H. Ruang A, B, C adalah ruang2 untuk bayi yang udah siap pulang, ruang D dan E adalah untuk bayi yang sangat perlu perhatian (Khaylila anakku dirawat di ruang E), ruang F sampai H, buat bayi-bayi yang sedang “dikarantina” karena takut penyakitnya menular ke bayi lain. Dan semua ruangan itu penuh.

Ketika ada bayi yang perlu inkubator di ruang E, dokter dan perawat harus memindahkan salah satu bayi yang dianggap kondisinya sudah memungkinkan buat dipindah ke ruang B atau C. Begitu juga kalau ada bayi yang pulang (entah pulang ke rumah atau pulang ke rahmatulloh), ga perlu nunggu waktu lama, tempatnya akan segera diisi oleh pasien lain.

Aku mungkin beruntung karena anakku bisa langsung mendapatkan perawatan intensif. Beda lagi dengan pengalaman teman yang hamil anak kembar prematur dan BBLR. Dia yang melahirkan di RS. Hidayatulloh mendapatkan kesulitan ketika di Hidayatulloh fasilitas NICU-nya nggak lengkap dan salah satu anaknya harus dirujuk ke rs lain. Ketika itu, semua rumah sakit yang dihubungi nggak ada yang bersedia menerima bayinya, dengan alasan NICU-nya penuh, sampai akhirnya salah satu bayinya meninggal.

Ketika di rumah sakit itu pula, aku menyadari pentingnya asuransi kesehatan. Aku beruntung dan sangat bersyukur karena suami dapat Jamsostek dari tempat kerjanya. Meskipun saat itu ada Jampersal (Jaminan Persalinan) dari pemerintah, aku kembali bersyukur karena aku memakai Jamsostek. Aku melihat perlakuan yang berbeda, misalnya ketika perlu obat, pasien dengan Jampersal harus mengalami birokrasi yang berbelit-belit. Sedangkan ketika anakku perlu obat, dokter yang mencarikan obatnya. Memang, pasien Jampersal tak perlu mengeluarkan uang sepeserpun, tapi aku lebih memilih mengeluarkan uang asalkan anakku mendapatkan perawatan terbaik. Selama 32 hari, di sepanjang hidup Khaylila, aku menemaninya di NICU Sardjito. Meskipun akhirnya harus merelakan Khay kembali ke surga-Nya, aku sudah mengusahakan dan memberikan perawatan terbaik untuk Khaylila.

Love u so much, Kak… See u in heaven…

Posted from WordPress for BlackBerry.

Leave a comment